Beranda | Artikel
Fikih Itikaf (8)
Senin, 13 Juli 2015

Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,

وَيَلْزَمَانِ بِالنَّذْرِ

“Keduanya itu menjadi wajib karena nazar”

Penjelasan

Perkataan penulis “Keduanya itu menjadi wajib karena nadzar” maksudnya adalahi’tikaf dan puasa menjadi wajib jika seseorang bernazar, sedangkan nazar adalah mengharuskan seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib karena Allah.

Konsekuensi dari keterangan dalam matan

Pernyataan penulis di atas, berkonsekuensi hal-hal sebagai berikut:

  1. Barangsiapa yang bernazar untuk melakukan puasa  sehari, maka wajib baginya berpuasa sehari.
  2. Barangsiapa yang bernazar untuk i’tikaf sehari, maka wajib baginya beri’tikaf sehari.
  3. Barangsiapa yang bernazar untuk berpuasa dalam keadaan sedang beri’tikaf, maka wajib baginya melakukannya dengan cara beri’tikaf mulai sebelum terbit fajar sampai terbenam matahari karena itulah waktu berpuasa, sedangkan isi nazarnya mengharuskan i’tikafnya mencakup waktu puasa.
  4. Barangsiapa yang bernazar untuk beri’tikaf dalam keadaan berpuasa, maka wajib ia melakukan nazarnya. Nazar yang keempat ini bagi ulama yang berpendapat bahwa i’tikaf itu sah walaupun sesaat saja, maka nazar ini sudah dianggap tertunaikan jika i’tikaf dilakukan di siang hari saat berpuasa walaupun hanya sesaat saja. Namun, pendapat yang terkuat adalah waktu minimal i’tikaf adalah sehari atau semalam.

Dalil  i’tikaf dan puasa  itu menjadi wajib karena nazar

Jika ada orang yang bertanya, “Apa dalil dari perkataan penulis dalam matan di atas?”

Maka jawablah,

Dalil bahwa i’tikaf dan puasa itu menjadi wajib karena nazar adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من نذر أن يطيع الله فليطعه

Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah, maka wajib mentaati Allah (HR. Al-Bukhari:8/177).

Sisi pendalilan:

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan, agar memenuhi nadzarnya, sedangkan puasa dan i’tikaf adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan hukum asalnya, sebuah perintah dalam dalil itu bersifat wajib dilakukan, selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum wajib. Adapun dalam konteks ini tidak terdapat dalil yang memalingkan dari hukum wajib.

Bukankah nadzar itu makruh?

Perlu diingat, bahwa nadzar adalah ibadah, karena Allah berfirman,

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana” (QS. Al Insan:7)

Dalam ayat ini, Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Tidaklah Allah memuji kecuali karena mereka melakukan sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan setiap yang dicintai oleh-Nya merupakan suatu ibadah.

Nazar itu ada dua, muthlaq dan muqoyyad.

Nazar mutlaq adalah mewajibkan diri untuk melakukan ketaatan tanpa syarat. Misalnya, “Saya bernadzar untuk i’tikaf 10 hari karena Allah,” sedangkan nadzar muqayyad adalah mewajibkan diri untuk melakukan ketaatan dengan syarat jika permintaannya dipenuhi oleh Allah. Misalnya, ucapan seseorang, “Saya bernazar akan beri’tikaf karena Allah jika saya sembuh.”

Nazar yang kedua inilah yang hukumnya makruh.  Nazar ini menunjukkan kebakhilan seseorang dalam melakukan ketaatan karena seseorang yang bernazar muqayyad mensyaratkan keinginannya terpenuhi terlebih dahulu, barulah melakukan suatu ketaatan.

Renungan

Hendaknya seseorang mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum bernazar dan tidak membiasakan diri bernadzar tanpa perhitungan, walaupun berbentuk mutlak, karena dikhawatirkan tidak bisa memenuhi atau ia melakukan pelanggaran dalam memenuhinya.

(Bersambung)

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

🔍 Kitab Al Ushul Ats Tsalatsah, Adab Berbakti Kepada Orang Tua, Hadits Tentang Memberi Makan Orang Yang Berpuasa, Pentingnya Persahabatan, Hukum Tidak Menikah Seumur Hidup


Artikel asli: https://muslim.or.id/26024-fikih-itikaf-8.html